Pages

21/06/2010

My Opinion Pieces - 001

Published by Suara Merdeka Daily, February 10, 2009


URGENSI SERTIFIKASI WARTAWAN

Oleh Wisnu T Hanggoro

SEPULUH tahun sudah Undang-Undang No 40 Tahun 1999 Tentang Pers berjalan. Kalau harus berkomentar tentang kondisi pers sepanjang sepuluh tahun ini, maka dengan muram harus saya katakan bahwa pers di negeri ini lebih berkutat dalam persaingan bisnis ketimbang persaingan kualitas jurnalisme.
Sejumlah media baru bermunculan, dan sebagian di antaranya hanya bertahan seumur jagung. Untuk mengatasi pesaing-pesaing barunya, media lama berupaya memperkuat tancapan kuku bisnisnya melalui penerbitan suplemen yang menyerupai koran komunitas (community newspaper). Meskipun upaya ini sah-sah saja untuk mendekatkan media dengan situasi lokal masyarakat, namun tak bisa menghapus kesan penempatan pembaca sebagai ajang pasar ketimbang sebagai masyarakat yang memiliki hak untuk tahu.
Penerbitan media massa memang tidak bisa dilepaskan dari aspek bisnis. Tanpa pengelolaan bisnis yang sehat, koran atau majalah ibarat menggali kuburnya sendiri. Namun, sangatlah berbahaya apabila media massa dikelola semata-mata untuk kepentingan  bisnis tanpa mempertimbangkan hak dasar masyarakat atas informasi.
Di luar persaingan bisnis itu, yang masih saja menjadi ganjalan pelaksanaan UU Pers 1999 adalah persoalan yang menyangkut SDM Pers. Bermunculannya media baru, yang otomatis melipatkandakan jumlah SDM pers, ternyata juga semakin meningkatkan keluhan warga masyarakat, terutama yang sering bersentuhan dengan dunia pers. Di lapangan makin banyak dijumpai wartawan, namun makin sulit dibedakan mana wartawan sungguhan dan mana yang bodrek.

Sertifikasi Wartawan
Untuk mengatasi persoalan SDM pers tersebut, pada 2006 lalu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) melontarkan gagasan tentang perlunya sertifikasi wartawan. Gagasan ini mendapat sambutan positif dari pelbagai kalangan, termasuk organisasi-organisasi wartawan lain dan kalangan akademisi. Tak kurang Dewan Pers juga meresponnya dengan menggodok persiapan sertifikasi melalui pelatihan etika jurnalisme. Sayangnya, hingga kini, setelah sekitar tiga tahun berjalan, tindak lanjut atau bahkan langkah nyata atas gagasan sertifikasi ini belum nampak. Wacana yang belakangan muncul justru:  lembaga mana yang layak melakukan uji kompetensi sehingga punya otoritas mengeluarkan sertifikat bagi wartawan yang qualified.
Sederet perdebatan seputar sertifikasi ini memang diperlukan untuk memperkecil penyimpangan atau kekeliruan dalam implementasinya. Namun, dari perdebatan yang telah terjadi selama ini nampak sekali banyaknya kesalahpahaman tentang hakikat sertifikasi. Banyak yang masih berpandangan bahwa sertifikasi sekadar untuk mendapatkan sertifikat profesi bak sarjana yang memperoleh ijazah kesarjanaannya. Kalau pemahaman ini diikuti, akan sia-sialah penyelenggaraan sertifikasi tersebut.
Secara yuridis formal, penyelenggara sertifikasi profesi sebenarnya sudah jelas aturannya yang dapat di lihat di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Badan nasional Sertifikasi Profesi. PP ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang lahir sebagai respon atas tuntutan keunggulan daya saing SDM di era globalisasi. Melalui sertifikasi profesi diharapkan tenaga kerja di Indonesia tidak saja memiliki kompetensi yang dibutuhkan dunia Industri, tapi juga memiliki daya saing di tingkat global.

Istimewa
Untuk keperluan sertifikasi profesi wartawan, pertanyaan yang mula-mula harus dijawab adalah: untuk apa sertifikasi tersebut?  Apa manfaat yang diperoleh wartawan setelah lolos uji sertifikasi? Kalau sertifikasi tidak menimbulkan dampak apapun, sekurang-kurangnya yang menyangkut kesejahteraan maupun prestise, bagi wartawan, nampaknya akan sia-sialah segala wacana ataupun aktivitas yang berkaitan dengan sertifikasi ini.
Sertifikasi wartawan tidaklah diperuntukkan membedakan wartawan sungguhan dan wartawan bodrek. Ia juga bukan semata-mata untuk menunjukkan telah lolosnya si wartawan dari pelatihan atau pendidikan tertentu.
Sertifikasi profesi adalah tanda kompetensi yang dimiliki seseorang atas profesi yang dijalaninya. Wartawan yang bersertifikasi adalah wartawan yang benar-benar memiliki kompetensi sesuai dengan standar-standar yang diperlukan bagi profesi wartawan. Standar kompetensi ini meliputi pelbagai elemen/unit kompetensi, baik itu menyangkut etika, pengetahuan, ataupun ketrampilan yang memungkinkannya dapat melakukan liputan dan penulisan berita serta aktivitas kewartawanan lainnya. Sertifikasi tidak akan diberikan sebelum si wartawan benar-benar lulus 100% atas materi yang diujikan, tanpa kecuali. Apabila dia baru lulus 99% dan masih ada 1% unit kompetensi yang belum dikuasainya, sebelum menerima sertifikasinya dia harus melatih diri atau secara khusus mengikuti pelatihan yang memungkinkannya menguasai faktor yang belum untuk mencapai kompetensi 100% itu
Menyimak tuntutan 100% lulus kompetensi itu, tidaklah sembarang orang bisa dengan mudah mendapatkan sertifikasi profesinya. Pemegang sertifikasi profesi adalah orang yang istimewa di bidang profesinya. Itulah sebabnya, pemilik sertifikasi profesi haruslah diperlakukan secara khusus dengan reward khusus pula. Selain dia punya daya tawar yang tinggi untuk profesi yang dikuasainya, lembaga yang mempekerjakannya pun juga perlu memberikan gaji dan fasilitas-fasilitas yang istimewa.

Dukungan Sistem
Rasanya sulit dibayangkan sertifikasi wartawan dijalankan selagi lembaga-lembaga media memiliki kebebasan mempekerjakan wartawan dengan kualifikasi apapun dan dengan gaji seberapapun. Namun, untuk masa sekarang ini, rasanya juga tidaklah realistis untuk mengharuskan semua lembaga media mempekerjakan semua SDM yang bersertifikasi wartawan dan berfasilitas tinggi.
Yang paling realistis untuk dilakukan adalah dibangunnya sistem yang mapan dan terjaminnya wartawan bersertifikasi untuk memperoleh hak-hak yang sesuai dengan kompetensinya. Jaminan ini tidak hanya berupa penetapan standar gaji dan fasilitas bagi mereka, tetapi juga adanya payung hukum yang mewajibkan lembaga media secara bertahap mempekerjakan wartawan-wartawan yang bersertifikasi.
Dengan adanya dukungan sistem tersebut, maka secara bertahap lembaga media hanya akan mempekerjakan wartawan yang telah memiliki sertifikasi profesinya. Ini berarti pula, di masa mendatang yang namanya wartawan hanyalah mereka yang bersertifikasi profesi wartawan. Dan kalau semua lembaga media hanya mempekerjakan wartawan bersertifikasi, ribut-rubut soal wartawan bodrek atau wartawan amplop tidak perlu terjadi.

Posisi Dewan Pers
Dewan Pers bukanlah Lembaga Sertifikasi Profesi. Karenanya, Dewan Pers bukanlah lembaga yang bisa mengeluarkan sertifikasi profesi wartawan.
Kalau dalam sejumlah pemberitaan disebutkan bahwa Dewan Pers akan menyiapkan sertifikasi melalui pelatihan etika kewartawanan, menurut saya langkah ini perlu ditinjau lagi. Pelatihan etika ataupun teknis kewartawanan tidaklah tepat dilakukan institusi sekaliber Dewan Pers. Pelatihan-pelatihan semacam itu dapat dilakukan secara internal oleh lembaga media dan atau lembaga-lembaga pelatihan independen.
Nampaknya akan lebih berwibawa bagi Dewan Pers apabila sekarang ini dapat membangun infrastruktur yang memungkinkan sertifikasi profesi wartawan terjamin objektifitasnya dan menghasilkan profesional-profesional kewartawanan yang berkompeten. Infrastruktur ini selain menyangkut kerjasama dengan instansi terkait seperti Badan Nasional Sertifikasi profesi (BNSP) dalam pembentukan Lembaga Sertifikasi Profesi Wartawan (LSPW) yang handal, juga merumuskan ketentuan-ketentuan lembaga training sertifikasi terkait, memberi masukan atau draft mengenai unit/elemen kompetensi yang perlu diujikan bagi para pemohon sertifikasi, serta penetapan standarisasi gaji/fasilitas wartawan bersertifikasi.
         Pada akhirnya, apabila proses sertifikasi wartawan telah berlangsung, secara moral Dewan Pers juga perlu mengumumkan secara periodik ke masyarakat tentang berapa persen wartawan bersertifikasi yang telah dimiliki lembaga-lembaga media di negeri ini. Melalui pengumuman ini diharapkan tiap lembaga media akan lebih terpacu untuk meningkatkan kualitas jurnalismenya melalui wartawan-wartawannya yang memang berkompeten di bidang profesinya. Bilamana perlu, Dewan Pers juga dapat mengupayakan sistem pers yang sehat melalui mekanisme akreditasi terhadap lembaga-lembaga media di negeri ini*** (Wisnu T HanggoroPengamat Media, Pendiri Lembaga Studi Pers & Informasi – LeSPI)

No comments: